Hari Kartini, PB Jatim Soroti Lemahnya Perlindungan Kelompok Rentan Saat Bencana
matahationline.com – Perempuan Bangsa (PB) Jawa Timur turut menyoroti masih lemahnya perlindungan kelompok rentan bencana dalam peringatan Hari Kartini. Kelompok tersebut diantaranya adalah perempuan dan anak, lansia dan juga diffable.
Lemahnya perlindungan tersebut tampak dari data korban saat bencana melanda, baik bencana alam, bencana sosial dan bencana kegagalan teknologi. Berkaca pada gempa di Lombok dan di Jatim baru-baru ini, kelompok rentan hampir selalu menjadi korban dalam kejadian bencana. Contoh gempa Lombok, jumlah pengungsi perempuan tembus hingga angka 173.236 orang, dan di Lombok Timur ada 136 Bumil yang juga mengungsi. Selain 1991 Balita dan 2641 anak-anak (Voaindonesia.co., 14 Agustus 2018). Sementara Gempa di Jatim, berdasarkan data BPBD Jatim, korban meninggal dunia sejumlah 10 orang, 9 di antaranya Lansia (di Lumajang, Blitar dan Kab. Malang).
Tidak hanya itu, pengungsi konflik sosial Sampang di Jemundo Sidoarjo juga didominasi perempuan dan anak-anak. Lalu, bencana sosial aksi kelompok radikal ekstrem (termasuk di Surabaya dan Sidoarjo beberapa waktu lalu), menyertakan perempuan dan anak sebagai pelaku aktif. Hal serupa juga terjadi bencana kegagalan teknologi seperti kasus Lapindo Sidoarjo, perempuan, lansia dan diffable menjadi korban.
“Merekalah yang paling berisiko mengalami masalah ketika bencana terjadi, baik menjadi korban saat bencana maupun bermasalah selama di pengungsian. Negara harus hadir dengan memastikan bahwa mereka yang menjadi korban harus mendapat perlakuan khusus karena kerentanannya. Lebih penting lagi, mencegah mereka menjadi korban dengan menguatkan ketangguhan mereka dan keluarga dengan anggota keluarga rentan untuk menghadapi bencana,” ungkap Ketua DPW Perempuan Bangsa Jawa Timur Hikmah Bafaqih.
Hikmah kemudian menyinggung soal program Keluarga Tangguh Bencana. Menurutnya, program tersebut bagian dari ikhtiar mengurangi resiko bencana asal dilaksanakan dengan maksimal dengan cara menggeser paradigma yang digunakan. Kelompok rentan bencana tidak lagi menjadi obyek yang perlu diselamatnya, namun kelompok rentan bencana harus menjadi subjek yang perlu diedukasi untuk menjadi Tangguh bencana. “Dalam konteks gerakan radikal ekstrempun, perempuan dan anak-anak harus mendapat proteksi lebih agar tak menjadi tameng dan korban,” imbuh Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur itu.
Melihat begitu besarnya potensi resiko kelompok rentan bencana tersebut, PB Jawa Timur menilai pemerintah dan stakeholder lainnya belum maksimal dalam memberikan afirmasi menghadapi bencana. Sebab itu, PB bertekat menjadikan kelompok rentan bencana menjadi isu di pemerintahan daerah, khususnya Provinsi Jawa Timur. “PB Jatim juga hendak serius mengawal soal-soal ketahanan keluarga ini, termasuk di isu bencana alam, bencana konflik sosial, bencana konflik sumber daya alam dan bancana kegagalan teknologi,” katanya.