Klarifikasi Kemenkeu Terkait Isu Pengenaan PPN 12 Persen pada Transaksi Uang Elektronik Mulai 1 Januari 2025
Matahationline.com – Beberapa waktu terakhir, muncul kabar yang beredar luas di masyarakat mengenai rencana pemerintah untuk mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen atas transaksi uang elektronik mulai 1 Januari 2025. Isu ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama para pengguna layanan uang elektronik, dompet digital (e-wallet), serta layanan teknologi finansial (fintech) lainnya. Banyak yang khawatir bahwa dengan adanya penerapan PPN pada transaksi uang elektronik, biaya-biaya yang mereka tanggung akan semakin tinggi.
Namun, untuk memberikan penjelasan yang lebih jelas, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya memberikan klarifikasi terkait hal tersebut. Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, menyatakan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sebenarnya sudah dilakukan sejak berlakunya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) Nomor 8 Tahun 1983, yang mulai berlaku pada 1 Juli 1984. Artinya, transaksi uang elektronik bukanlah objek pajak baru yang akan dikenakan PPN pada 2025.
“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” ujar Dwi Astuti dalam konferensi pers yang dilansir oleh Antara pada Jumat (20/12/2024).
Perubahan dalam UU PPN melalui UU HPP
Meskipun pengenaan PPN terhadap transaksi uang elektronik sudah ada sejak lama, penting untuk dicatat bahwa terdapat perubahan signifikan pada aturan perpajakan seiring dengan pembaruan UU PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam ketentuan terbaru UU HPP, layanan uang elektronik (e-money) serta berbagai layanan fintech lainnya tidak termasuk dalam kategori yang dibebaskan dari PPN. Hal ini mengarah pada kebijakan bahwa ketika tarif PPN naik menjadi 12 persen pada tahun 2025, layanan uang elektronik juga akan dikenakan tarif tersebut.
Dengan demikian, meskipun biaya-biaya yang terkait dengan transaksi uang elektronik seperti top-up saldo atau biaya administrasi lainnya tetap dikenakan PPN, PPN yang dikenakan akan mengikuti perubahan tarif yang berlaku secara umum, yaitu 12 persen.
Jenis Layanan Fintech yang Dikenakan PPN
Sesuai dengan PMK 69 Tahun 2022 yang menjadi aturan lebih lanjut mengenai pengenaan PPN pada transaksi uang elektronik dan layanan fintech secara umum, terdapat beberapa jenis layanan yang dikenakan PPN. Layanan-layanan tersebut antara lain meliputi uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, serta transfer dana. Beberapa biaya yang dikenakan PPN dalam transaksi uang elektronik antara lain biaya layanan registrasi, pengisian ulang saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, serta tarik tunai dari uang elektronik.
Selain itu, biaya merchant discount rate (MDR), yaitu potongan yang dikenakan kepada pedagang yang menerima pembayaran menggunakan layanan dompet elektronik, juga akan dikenakan PPN. Meskipun demikian, jika transaksi hanya melibatkan penggunaan saldo tanpa biaya tambahan (misalnya, hanya mentransfer uang dari satu pengguna ke pengguna lainnya tanpa ada biaya administrasi atau biaya lainnya), maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN.
Sebagai contoh, jika seorang pengguna melakukan top-up saldo uang elektronik dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 1.000, maka PPN yang berlaku saat ini sebesar 11 persen akan dikenakan pada biaya tersebut. Dalam hal ini, PPN yang dibayar pengguna adalah sebesar Rp 110, sehingga total biaya menjadi Rp 1.110. Namun, jika tarif PPN dinaikkan menjadi 12 persen pada tahun 2025, maka PPN yang dikenakan adalah sebesar Rp 120, yang akan membuat total biaya menjadi Rp 1.120.
Pengenaan PPN pada biaya administrasi top-up dan transaksi lainnya tentunya berdampak pada pengguna. Meskipun tarif pajak meningkat, biaya transaksi yang dikenakan tetap mencerminkan tarif yang berlaku pada PPN secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa meskipun ada kenaikan tarif PPN, pengguna tidak akan dikenakan biaya tambahan yang tidak relevan dengan aturan PPN yang ada.
Pembebasan PPN untuk Jasa Keuangan Tertentu
UU HPP yang berlaku juga mengatur mengenai pembebasan PPN untuk sejumlah jenis jasa keuangan tertentu. Pembebasan ini berlaku untuk berbagai jenis penghimpunan dana yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan, seperti giro, tabungan, deposito, dan sertifikat deposito. Selain itu, kegiatan penyaluran dan peminjaman dana, baik itu melalui transfer elektronik, cek, maupun wesel, juga tidak dikenakan PPN.
Beberapa jenis pembiayaan yang tidak dikenakan PPN, termasuk yang berprinsip syariah, antara lain pembiayaan dengan hak opsi, anjak piutang, kartu kredit, serta pembiayaan konsumen. Begitu pula dengan layanan gadai, baik gadai konvensional maupun gadai syariah, serta fidusia dan jasa penjaminan untuk melindungi kewajiban finansial juga dibebaskan dari PPN.
Pengecualian ini bertujuan untuk meringankan beban perpajakan pada sektor-sektor tertentu yang dianggap vital dalam mendukung stabilitas perekonomian serta sektor keuangan. Dengan adanya pengecualian ini, masyarakat dan pelaku usaha di sektor keuangan tidak akan dikenakan PPN atas layanan yang bersifat dasar dan sangat penting dalam penyelenggaraan ekonomi sehari-hari.
Penegasan Kemenkeu Mengenai Isu PPN pada Transaksi Uang Elektronik
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pengenaan PPN terhadap layanan uang elektronik dan transaksi fintech adalah bagian dari kebijakan harmonisasi perpajakan yang diatur dalam UU HPP. Dengan demikian, meskipun ada isu yang berkembang di masyarakat mengenai PPN yang dikenakan pada transaksi uang elektronik, kebijakan ini bukanlah hal baru dan sudah diatur dalam peraturan yang berlaku.
Dwi Astuti menegaskan bahwa PPN merupakan pajak yang dikenakan pada transaksi barang dan/atau jasa, dan pengenaan PPN terhadap layanan uang elektronik sejalan dengan upaya pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. “Pengenaan PPN atas layanan uang elektronik bukanlah hal yang baru. Ini sudah menjadi bagian dari kebijakan perpajakan yang berlaku sejak tahun 1984 dan akan berlaku lebih lanjut seiring dengan pembaruan aturan dalam UU HPP,” jelas Dwi