Menteri HAM Dinilai Belum Optimal Tangani Pelanggaran HAM dalam PSN Pulau Rempang

Matahationline.com – Anggota Komisi XIII dari Fraksi PKB, Mafirion, mengkritik kinerja Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai, yang dianggap belum optimal dalam menangani pelanggaran HAM dalam proyek strategis nasional (PSN), khususnya terkait dengan kasus Pulau Rempang.
Mafirion menilai bahwa selama 100 hari pertama Kabinet Merah Putih, belum ada langkah signifikan dari Kementerian HAM untuk menangani dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam berbagai proyek PSN di Indonesia.
Menurutnya, dalam lima tahun terakhir, terdapat banyak laporan tentang kekerasan oleh aparat, ancaman fisik, dan teror terhadap masyarakat yang terdampak PSN.
Dalam rentang waktu 2019-2023, Mafirion menyebutkan sebanyak 101 orang terluka, 204 orang ditangkap, dan 64 orang lainnya mengalami kekerasan psikologis akibat pelaksanaan PSN.
Ia menegaskan bahwa banyak dari korban adalah masyarakat yang merasa dirugikan oleh proyek tersebut, yang protesnya justru dibalas dengan kekerasan dan teror.
Kasus yang paling mencolok, menurut Mafirion, terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, di mana ribuan warga menghadapi penggusuran paksa untuk memberi jalan bagi proyek PSN.
Sebanyak 7.500 warga yang menolak dipindahkan dari pemukiman mereka mengalami penggusuran yang mengakibatkan mereka terputus dari akar sosial, budaya, dan komunitas mereka.
Mafirion mengkritik kurangnya perhatian dari Kementerian HAM terhadap kasus ini, meskipun penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat menurut ketentuan PBB.
Ia juga menyebutkan bahwa dugaan pelanggaran ini melibatkan sejumlah aparat negara, termasuk 36 anggota kepolisian, 48 anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan 30 oknum pemerintah daerah.
Mafirion mengimbau agar Kementerian HAM segera turun tangan untuk melindungi hak-hak warga, terutama di Pulau Rempang. Ia menyarankan Menteri HAM untuk mengunjungi langsung lokasi tersebut, bertemu dengan masyarakat, dan mendengarkan keluhan mereka.
“Kementerian HAM seharusnya menjadi penengah antara masyarakat dan pihak yang berseteru, serta mengingatkan pemerintah bahwa pembangunan harus untuk kesejahteraan rakyat, bukan di atas penderitaan rakyat,” tegasnya.
Kasus ini semakin menarik perhatian publik, mengingat penggusuran paksa melibatkan pelanggaran hak atas perumahan yang layak, yang menjadi salah satu hak asasi yang diakui secara internasional.